Jumat, 01 Desember 2017

Pengaruh hindu dan Islam di sape

Pengaruh Hindu di Sape



Peta sriwijaya

Pengaruh  Islam  di sape meningkat pada pada abad 16 terutama pada masa tokoh pembawa islam di nusantara yaitu Datuk ri Tiro bersama dua saudaranya, Datuk ri Bandang dan Datuk Patimang menyebarkan agama Islam di wilayah Sulawesi Selatan dengan menyesuaikan keahlian yang mereka miliki masing-masing dengan situasi dan kondisi masyarakat yang akan mereka hadapi. Datuk ri Tiro yang ahli tasawuf melakukan syiar Islam di wilayah selatan, yaitu TiroBulukumbaBantaeng dan Tanete, yang masyarakatnya masih kuat memegang budaya sihir dan mantera-mantera. Sedangkan Datuk Patimang yang ahli tentang tauhid telah lebih dulu menyiarkan Islam di wilayah utara yaitu Kerajaan Luwu (Suppa, SoppengLuwu) yang masyarakatnya masih menyembah dewa-dewa. Sementara itu Datuk ri Bandang yang ahli fikih berdakwah di wilayah tengah yaitu Kerajaan Gowa dan Tallo (GowaTakalarJeneponto dan Bantaeng) yang masyarakatnya senang dengan perjudian, mabuk minuman keras serta menyabung ayam.[3] Belakangan Datuk ri Tiro dan Datuk ri Bandang juga menyiarkan Islam ke Kerajaan Bima, Nusa Sumber: Tenggara. https://id.wikipedia.org/wiki/Datuk_ri_Tiro




SARI DALAM SEJARAH

Sari adalah sebuah wilayah yang terletak di bima bagian timur.  Sari pernah menjadi bagian dari Ncuhi Doro Wuni. Di wilayah Sari pernah jadi pemukiman Ncuhi Kawae yang terdapat di kaki Gunung Rengge malowa. Ncuhi kawae kemudian Pindah ke arah barat.  Sari pernah menjadi Nama Bumi Sari yang terletak di Timur Laut wilayah Sari Sekarang.

Asal Usul Nama Bumi Sari.
Para nenek moyang terdahulu menamai sebuah kampung atau daerah tidak asal menamai saja. Nama diambil dari filosofi dan sejarah sejarah, mereka sangat percaya bahwa sebuah nama adalah doa yang ampuh dan selalu diucapkan masyarakat kampung itu sendiri maupun masyarakat luar.
Sari adalah sebuah desa di sebelah timur kab. Bima yang terletak disekekitar gunung kri (keris). Lokasi desa sari dahulu terletak di Hidi Rasa (Tanah untuk Desa) yang terletak di timur laut desa sari saat ini atau terletak di sebelah utara desa tanah putih saat ini. Desa tanah putih sebelumnya adalah bagian dari desa sari, sebelum dimekarkan pada tahun 2000an namanya Sari II.
Kenapa Bumi Sari pindah ke selatan?  Banyak warga sari mengatakan bahwa disana ayam tidak bisa berkokok dan binatang-binatang yang lainnya tidak bisa bersuara.
Kenapa ayam  tidak bisa berkokok ? [1] karna ada Naga Yang memakannya jadi ayam tidak berani berkokok. [2] Ada juga yang mengatakan bahwa di Hidi Rasa adalah Dana Mbari (Tanah Kramat) jadi ayam takut berkokok. [3] Ada juga yang mengatakan bahwa Tanah itu, Tanah Keramat berati dilarang melakukan kerusakan, pembunuhan. [4] Dari Abu la dan lebe(Abdurrahman) bahwa desa sari pindah  ketika generasi ke 5 sebelum saya. Kenapa pindah desanya? supaya dekat dengan jalan raya untuk mempermudah akses dan kontrolan dari pemerintah kala itu  waktu masa penjajahan belanda.  Orang-orang terutama anak kecil didoktrin dengan kalimat-kalimat yang menakutkan supaya menjauhi hidi rasa atau bahkan punya niat lagi pindah kembali ke kampung  lama.
Nama-nama desa/dusun yang terkait dengan Sari adalah Dusun Sarita yang terletak di desa punti kecematan soromandi kab. bima.  
Dulu desa ini biasa dinamakan Bumi Sari, Beberapa orang tua didesa mengatakan di sari dahulu ada anak kerajaan yang hilang, tapi sayang mereka tidak bisa menjelaskan induk kerajaannya.
Ama Hala (Ahlaq) mengatakan bahwa Bumi Sari adalah Woke Dana(Pusar Tanah/Wilayah).
Ama Amri mengatakan sari adalah Sari Nawa (inti dari nyawa).
Ama Hola mengatakan bahwa sari berasal dari kata syarif, pernah hidup seorang tokoh yang tinggal disini yang namanya syarif(sari).
Mustakim, S.Ag mengatakan bahwa sari berasal dari kata Sariah. Pusat belajar dan penerapan sariah diwilayah sekitarnya. Mustakim, S.Ag mendengar dari kata  seseorang pada saat lomba desa tingkat nasional pada tahun 2013.
Jadi makna yang paling tepat dari beberapa pendapat diatas dan dari beberapa bahasa di beberapa daerah yang berada di wilayah Hind yang di jajah oleh belanda (Hindia-Belanda)  bahwa sari adalah pusat; inti; isi utama; keutamaan. Beberapa penggunaan kata sari: Jika itu adalah pohon bunga bahwa sari itu bunganya. Jika sebuah pohon yang utama itu adalah buahnya. Makanya ada beberapa daerah di negeri hind yang memaknai sari dengan arti bunga; indah; esensi. Sebuah buah intinya adalah sari, maka munculah istilah sari(buah), sari(tebu), dst.
Peta Bumi Sari dalam kitab Bo Sangaji Kai - Sari Sape Bima (dana mbojo)

NAMA TEMPAT
Doro kawae (Gunung kawae), gunung kri  (Gunung keris), gunung, Sambi na'E, Rengge malowa (tebing malowa), Karombo Rengge malowa ( gua Rengge malowa), Air Terjun Mabu Oi, Sawah Mila, Sori Kalate, Oi Kantu di, Oi Kantu ele, Rengge Malowa, Tolo Mila.

BUDAYA
========
Pada tahun 1990an masih terdapat terkait  budaya HINDU seperti:
Doa 7 Hari orang meninggal
Doa 40 Hari orang meninggal
Doa 100 hari orang meninggal

ISLAM=
100% warga beragama islam, sebagian besar masih menjalankan rutinitas islam. Namun masih terdapat orang-orang melakukan syirik dengan membakar dan membawa ayam ditempat-tempat yang keramat saperti di wadu sura, oi masa dan dihutan-hutan.


CAMPURAN HINDU ISLAM
Doa dana yaitu doa keselamatan dari bencana maupun dari penyakit manusia dan penyakit tanaman biasa dilakukan di pinggir barat kampung, sala satu bukit dibarat kampung (tahun 1990an).
Pada acara tersebut setiap warna membawa ketupat, nasi kuning dan berbagai jenis bunga seperti bunga pinang).
Ketika Ziarah kubur biasanya warga membawa se cergen air yang sudah dicampur dengan daun pandan wangi yang diiris dan bunga pinang.

Terdapat 3 jenis tari yang terus menerus diwariskan dari generasi ke generasi yaitu tari soka, buja kadanda dan tari siwe. Tari soka sari adalah yang ada sejak masa kedangan pembawa islam di bumi sari yang diterun temurunkan sampai saat ini.

Tarian ini berasal dari Desa Sari Kecamatan Sape Bima. Soka telah dikenal seiring dengan masuknya islam dikecamatan tersebut, menurut catatan sejarah bahwa islam masuk ke Bima melalui kecamatan sape yang dibawa oleh para mubaligh dari berbagai wilayah seperti Mubalik dari sumatra, Gowa dan Makasar bahkan ternate.

Tarian Soka dipersembahkan sebagai wujud menjadi simbol perlawanan terhadap segala bentuk ancaman baik dari dalam maupun dari luar. Soka dimainkan oleh dua orang penari laki-laki dengan menggunakan tombak, diiringi dua buah gendang dan Sarone. Soka merupakan permainan ketangkasan dan di dalamnya terdapat gerakan saling menyerang dengan tombak, namun karena sudah terlatih, tidak ada satupun diantara para pemainnya yang terluka.Tarian ini sudah sangat jarang kita temui saat ini. Atraksi ini hanya ditampilkan pada acara-acara tertentu dan sudah lama tak ditampilkan. Mesti ada upaya-upaya konkrit untuk pelestariannya.

TARI SOKA DAN WADU SURA
Beberapa orang tua disari mengatakan tari soka dan wadu sura adalah satu kesatuan atau memiliki hubungan. Temukan hubungannya/keterkaitannya dimana? Apakah waktunya yang sama? atakah dibawa oleh orang yang sama?


Wadu sura pernah di riset seorang ilmuan pada tahun 1990an, hasilnya bahwa batu tersebut bukan hasil karya manusia tapi terbentuk sendiri oleh alam atau jatuh dari langit, makanya tidak pernah lagi dilakukan riset lanjutan sampai sekarang.
Tulisan Arab melayu Wadu sura sari sape

Wadu sura Bumi Sari

Pemain Soka Sari
Mesjid At-takwa Sari


Makam Pendiri Mesjid sekaligus Lebe Mesjid At-taqwa Sari (makam Ibrahim / Bai / Ompu Haniah)


Dalam Atlas Sejarah dunia karangan Profesor Muhammad Yamin yang termuat di dalam Sejarah kejayaan Kerajaan Sriwijaya di Sumatra sebagai Kerajaan pertama di   Indonesia sekitar tahun 600-an -1100, nama Sari tercantum di dalam atlas (Terletak di sebelah timur wawo,terletak disebelah barat wawo dan sebelah utaranya wera)

Selasa, 23 Mei 2017

Kavaleri Kerajaan Bima

Sejak abad XII Masehi, kuda Bima sudah tersohor di Nusantara. Para pelaut dan pedagang dari berbagai negeri membeli Kuda Bima untuk dijadikan tunggangan para raja, bangsawan, dan panglima perang. Dalam Negara Kertagama disebutkan Raja-raja dan panglima perang Kerajaan Kediri, Singosari, dan Majapahit, selalu memilih Kuda Bima untuk memperkuat armada kavalerinya. Pada masa Singasari, hubungan Jawa dengan Bima cukup kuat. Para Bangsawan Singasari dan Kediri seperti Raden Wijaya dan Jayakatwang selalu memiliki kuda Bima untuk dijadikan kuda perang ( Prof.Dr.Slamet Mulyono, Puncak kemegahan Majapahit,Sejarah Kerajaan Majapahit, 142). Para Gubernur Jenderal Hindia Belanda di Batavia pun sering meminta dikirimi Kuda Bima, yang dinilai sebagai jenis kuda terbaik di Kepulauan Hindia Belanda. Kuda Bima dinilai sebagai sarana transportasi yang tangguh karena kuat membawa beban hasil panen, tahan cuaca panas, serta jinak.
Pasukan berkuda Kerajaan Bima dipimpin oleh seorang Bumi, sedangkan lasykarnya bernama Jena Jara. Pasukan ini juga bercabang-cabang yang diambil dari berbagai wilayah dalam kerajaan mulai dari Jena Jara Asi, Jena Jara Kapa, Bolo, RasanaE, Sape, Saturubolo, Saturubelo, Monta, Woha, Kolo,Partiga, Saturudonggo, Punta Jara Asi dan Punta Jara Kopa.( Abdullah Tayib,Ba, Sejarah Bima Dana Mbojo, 193). Ada juga jabatan khusus yang bertugas di Istana yaitu Bumi Sari Ntonggu dan Bumi Sari Ndora yaitu petugas khusus yang memelihara Kuda Manggila yang dikandangkan dalam pekarangan istana. Disamping itu juga mereka menjaga keamanan dan ketertiban istana. Ada juga jabatan khusus Dari Jara yang bertugas memelihara kuda sultan dan perlengkapannya.
Kuda mendapatkan tempat “Terhormat” dalam struktur organisasi dan perangkat kerajaan Bima. Kuda bukan saja sebagai sarana transportasi, hewan piaraan, dan sarana perang, namun merupakan symbol kebanggaan/prestise bagi setiap pejabat kerajaan, jika diibaratkan zaman sekarang, kuda identik dengan “mobil dinas” jabatan. Beberapa jabatan yang secara tegas menggunakan “ Jara” (Kuda) dalam Majelis Paruga Suba Paripurna antara lain, Bumi Jara Tolotui, Bumi Jara Mbojo, Bumi Jara Bolo, Bumi Jara Paroko Mbojo, Jena Jara Mbojo dan Jena Jara Bolo. Jabatan ini tergabung dalam Bumi Nggeko yang beranggotakan 16 orang Bumi dan Anangguru. Ada juga jabatan Dari Jara , yaitu Dari Jara Mbojo dan Dari Jara Bolo yang menjadi pengawal Sultan. Dari Jara ini adalah petugas yang mengawasi dan memelihara kuda-kuda sultan serta perlengkapannya.
Disamping pasukan di atas, ada juga lascar khusus Jara Wera, Jara Bura dan Jara Sara’u. Pasukan Jara Wera adalah pasukan berani mati yang dibentuk dari sejarah perjuangan putera Mahkota La Ka’I merebut tahta kerajaan hingga menjadi sultan Bima pertama pada tahun 1640. Pasukan Jara Wera berasal dari orang-orang Wera,terutama di Sangiang yang menyelamatkan Abdul Kahir ketika dikejar pasukan Salisi ke pulau Sangiang. Sama seperti Jara Wera, pasukan Jara Bura adalah pasukan khusus dengan dominasi kuda-kuda putih yang sigap melambangkan kesucian hati dan perjuangan membela Negara dan ajaran Islam. Pasukan Jara Sara’u adalah pasukan khsusus upacara. Sara’u adalah menari dengan hentakan kaki yang mengikuti irama Tambur. Semakin cepat tabuhan tambur, maka hentakan kaki Jara Sara’u semakin cepat. Jara Sara’u diambil dari kuda-kuda pilihan yang jinak dan terlatih dengan irama Tambur. Jara Sara’u, Jara Wera dan Jara Bura hingga saat ini biasa tampil pada saat parade atau upacara Hanta UA PUA.
Van Bram Morris mencatat, dalam Nota Penjelasan Perjanjian Politik antara Kerajaan Bima dan Gubernur Sulawesi, tertanggal 20 Desember 1886, tercatat bahwa Kuda Bima pernah dikirim ke Sulawesi dan Jawa. Jumlahnya mencapai 1.000 sampai 1.500 ekor per tahun. Saat itu, harga kuda tertulis 40-50 poundsterling, sedangkan harga lokal di Bima saat itu 15-25 poundsterling per ekor. Tercatat juga pernah ada seorang pangeran dari Madura yang memesan beberapa kuda kepada Sultan Abdul Kadim, Sultan Bima Ke-8 (abad ke-18). Ketika itu, Kesultanan Bima memiliki ranch, tempat pemeliharaan kuda di Desa Wera, Lambu, Kangga,Mpili, Sangeang Darat, Sangeang Api, dan Poja. Sedemikian akrabnya orang Bima dengan kuda, sampai kini pun banyak cerita soal kuda yang berkembang di masyarakat. Kuda Bima bahkan juga sudah dijadikan simbol pantang menyerah, mau hidup prihatin, dan berjuang demi mencapai tujuan. Kuda Bima juga jinak, tidak mau dikasari, dan akan tunduk jika diperlakukan secara lembut.
Sebelum Nuruddin Abubakar Ali Syah( Sultan Bima III 1682-1684)dinobatkan menjadi sultan, diperintahkan ayahnya Sultan Abdul Khair sirajuddin(Sultan Bima II) untuk mengirim kuda dalam rangka membantu perang Trunojoyo dan Sultan Ageng Tirtayasa di Banten. Sultan Nuruddin bersama 19 orang pasukannya ditawan Belanda dan dibawa ke Batavia. Tempat penahanan Nuruddin hingga sekarang dikenal sebagai salah satu nama kecamatan di Jakarta yaitu Kecamatan Tambora. (M.Hilir Ismail, 98 dan Dr.Noordduyn “ Makassar And The Islamization Of Bima” ).
Pada masa kerajaan dan kesultanan Bima, pengembangbiakan kuda baik untuk sarana transportasi maupun kebutuhan eksport dan perang, kerajaan dan kesultanan Bima menerapkan kebijakan pengembangbiakan dengan menyiapkan areal khusus dengan sebutan Ruhu. Ruhu adalah areal penggembalaan dan pengembiakan ternak, termasuk kuda. Ruhu-ruhu tersebut banyak terdapat di Wera, Sape, Lambu dan Donggo. Hingga sampai sekarang masih ada kepercayaan masyarakat terhadap seekor kuda Sangaji Mbojo yang bernama Manggila, di sekitar pulau Sangiang.
Sumber Bacaan :

1. Prof.Dr.Slamet Mulyono, Puncak kemegahan Majapahit,Sejarah Kerajaan Majapahit, PN Balai Pustaka Jakarta 1965 ;
2. Hilir Ismail, Peran Kesultanan Bima Dalam Perjalanan Sejarah Nusantara
3. Van Bram Morris, Kerajaan Bima 1886, Penerbit Lengge
4. Alan Malingi, Artikel : Kuda Dalam Perspektif Masyarakat Bima
5. Abdullah Tayib,BA, Sejarah Bima Dana Mbojo.

Ditulis : Alan Malingi

Tulisan Singkat Tentang LA LINO

Tulisan Singkat Tentang LA LINO
=====================
MUSHAB LA LINO sala satu kekayaan warisan leluhur Dana Mbojo yang luput dari pengetahuan public yaitu Kitab Mushaf Bima yang diberi nama LA LINO. La Lino yang berarti memenuhi, melimpah ruah, menyeluruh. 

Contoh penggunaan Kalimat La dan Lino.
La Dola ma Me'e "Lino" (Si Abdullah yang Hitam menyeluruh/dipenuhi kulit hitam)
Fare aka Tolo  Waura Owa Ka "Lino" (Padi disawah sudah dipenuhi air). Sedangkan kata awal "La" tertuju pada orang, Misalkan La Dola( Si Abdullah), La Duru (Si Abdurrahman) & La Luku (Si Lukman)

Kitab ini ditulis oleh Syekh Subhi atau biasa dipanggil dalam bahasa bimanya Subu, Subhi(bahasa arab) yang  artinya Subuh. Beliau  seorang Imam Masjid Kesultanan Bima sekaligus guru dari Sultan Alaudin yang memerintah pada 1731 -1748 M.

Subhi bin Ismail bin abdul Karim, beliau sejak mudah sudah menghafal Al-Quran.
Selanjutnya jejak syekh Subhi  dilanjutkan sala  satu putranya bernama Syaikh Abdulgani bin Subhi bin Ismail bin abdul Karim Al-Bimawi Al-Jawi atau yang kerap disebut Al-Bimawi aja, guru besar di Madrasah Haramayn Masjidil Haram di penghujung abad 19. Kakeknya Syekh Abdul karim, seorang mubaliq kelana dari Mekah kelahiran Bagdad. Abdul Karim sampai ke Indonesia, pertama kali menuju Banten, untuk mencari saudaranya dari Banten, Abdul Karim mendapat informasi bahwa saudaranya itu ada di Sumbawa. Pergilah beliau ke sana dan sampai di Dompu. Seraya berdagang tembakau, Abdul Karim menyiarkan Islam. Hal itu menarik perhatian Sultan Dompu, lalu beliau diambil menjadi menantu. Dari pernikahan dengan gadis istana itu, Abdul Karim mendapat anak laki-laki bernama Ismail. Ismail pun mengikuti jejak ayahnya menjadi mubaligh. Ismail kemudian mempunyai putra bernama Subhi/Subu.

Kitab tersebut dulunya tersimpan di kediaman keluarga Kesultunan Bima dan sekarang tersimpan di Museum Baitul Qur’an Taman Mini Indonesia Indah Jakarta, dan pada tahun 2012 mendapat penghargaan sebagai mushaf Al-Qur’an terbaik dan terindah yang diselenggarakan di Yogyakarta dan menarik sekian banyak pengunjung yang hadir menyaksikannya. La Lino juga termasuk salah satu mushaf tertua di Indonesia.
 
Kekayaan tak ternilai itu adalah sebuah Mushaf Alqur’an yang dijuluki La Lino.  Perlunya untuk difamiliarkan kembali dengan memperbanyak dan mempelajarinya sebagaimana yang telah dilakukan oleh para ulama dan sultan pada masa kesultanan. Ide penulisan Alquran ini sebagai upaya penyiaran Islam pada masa-masa awal masuknya Islam di Dana Mbojo. Sehingga ayat-ayat suci itu bisa disebarluaskan ke seluruh masyarakat. Hanya inilah Alquran yang ada di Dana Mbojo pada saat itu dan strategi penyebarluasan isi kitabullah dengan cara menghadirkan rakyat di Istana (Asi Mbojo) untuk sama-sama mendengarkan lantunan Ayat Suci Alquran beserta maknanya dari para ulama dan mubaliq setiap malam Jumat. Pada periode selanjutnya muncullah ide dari Sultan Alauddin dan Syekh Subhi, seorang Imam Masjid Kesultanan Bima sekaligus guru dari Sultan Alaudin yang memerintah pada 1731 -1748 M untuk meneruskan kegiatan tersebut.

Mushaf tulisan tangan dari Kerajaan Bima ada dua Mashaf, yaitu La Nontogama (Jembatan Penuntun Agama), saat ini dalam koleksi Museum Samparaja di Bima, dan La Lino (memenuhi, melimpah ruah , menyeluruh) Bahasa Arabnya: Al-Kaaffah. yang saat ini dalam koleksi Bayt Al-Qur’an & Museum Istiqlal, Jakarta. Kedua mushaf ini masih lengkap, menggunakan kertas Eropa.

#Belajar_Sejarah
#Ambil_Hikmah_Dari_Sejarah
#Melestarikan_Budaya
#Budaya_Yang_baik


SUMBER:

Bafadal, Fadhal AR dan Rosehan Anwar. 2005. Mushaf-mushaf Kuno di Indonesia. Jakarta: Puslitbang Lektur Keagamaan

Eksiklopedia Bima oleh Muslimin Hamzah

Masyarakat Dana Mbojo (Bima dan Dompu).

BISA BACA: 

http://cintagenerasibima.blogspot.co.id/2016/04/membangaun-generasi-ulama-bima-dompu.html

http://www.rul-sq.info/2015/05/mushaf-manuskrip-nusantara.html

https://tafsiralquran2.wordpress.com/2012/11/03/pengertian-mushaf/
https://alanmalingi.wordpress.com/2012/05/12/la-lino/

https://ompundaru.wordpress.com/2009/01/03/syekh-abdulgani-bima-al-bimawi/

http://kesultananbima.blogspot.co.id/2014/06/al-quran-tulisan-tangan-nontogama.html

http://www.bimasumbawa.com/2014/12/nontogama-dan-la-lino.html