Selasa, 23 Mei 2017

Kavaleri Kerajaan Bima

Sejak abad XII Masehi, kuda Bima sudah tersohor di Nusantara. Para pelaut dan pedagang dari berbagai negeri membeli Kuda Bima untuk dijadikan tunggangan para raja, bangsawan, dan panglima perang. Dalam Negara Kertagama disebutkan Raja-raja dan panglima perang Kerajaan Kediri, Singosari, dan Majapahit, selalu memilih Kuda Bima untuk memperkuat armada kavalerinya. Pada masa Singasari, hubungan Jawa dengan Bima cukup kuat. Para Bangsawan Singasari dan Kediri seperti Raden Wijaya dan Jayakatwang selalu memiliki kuda Bima untuk dijadikan kuda perang ( Prof.Dr.Slamet Mulyono, Puncak kemegahan Majapahit,Sejarah Kerajaan Majapahit, 142). Para Gubernur Jenderal Hindia Belanda di Batavia pun sering meminta dikirimi Kuda Bima, yang dinilai sebagai jenis kuda terbaik di Kepulauan Hindia Belanda. Kuda Bima dinilai sebagai sarana transportasi yang tangguh karena kuat membawa beban hasil panen, tahan cuaca panas, serta jinak.
Pasukan berkuda Kerajaan Bima dipimpin oleh seorang Bumi, sedangkan lasykarnya bernama Jena Jara. Pasukan ini juga bercabang-cabang yang diambil dari berbagai wilayah dalam kerajaan mulai dari Jena Jara Asi, Jena Jara Kapa, Bolo, RasanaE, Sape, Saturubolo, Saturubelo, Monta, Woha, Kolo,Partiga, Saturudonggo, Punta Jara Asi dan Punta Jara Kopa.( Abdullah Tayib,Ba, Sejarah Bima Dana Mbojo, 193). Ada juga jabatan khusus yang bertugas di Istana yaitu Bumi Sari Ntonggu dan Bumi Sari Ndora yaitu petugas khusus yang memelihara Kuda Manggila yang dikandangkan dalam pekarangan istana. Disamping itu juga mereka menjaga keamanan dan ketertiban istana. Ada juga jabatan khusus Dari Jara yang bertugas memelihara kuda sultan dan perlengkapannya.
Kuda mendapatkan tempat “Terhormat” dalam struktur organisasi dan perangkat kerajaan Bima. Kuda bukan saja sebagai sarana transportasi, hewan piaraan, dan sarana perang, namun merupakan symbol kebanggaan/prestise bagi setiap pejabat kerajaan, jika diibaratkan zaman sekarang, kuda identik dengan “mobil dinas” jabatan. Beberapa jabatan yang secara tegas menggunakan “ Jara” (Kuda) dalam Majelis Paruga Suba Paripurna antara lain, Bumi Jara Tolotui, Bumi Jara Mbojo, Bumi Jara Bolo, Bumi Jara Paroko Mbojo, Jena Jara Mbojo dan Jena Jara Bolo. Jabatan ini tergabung dalam Bumi Nggeko yang beranggotakan 16 orang Bumi dan Anangguru. Ada juga jabatan Dari Jara , yaitu Dari Jara Mbojo dan Dari Jara Bolo yang menjadi pengawal Sultan. Dari Jara ini adalah petugas yang mengawasi dan memelihara kuda-kuda sultan serta perlengkapannya.
Disamping pasukan di atas, ada juga lascar khusus Jara Wera, Jara Bura dan Jara Sara’u. Pasukan Jara Wera adalah pasukan berani mati yang dibentuk dari sejarah perjuangan putera Mahkota La Ka’I merebut tahta kerajaan hingga menjadi sultan Bima pertama pada tahun 1640. Pasukan Jara Wera berasal dari orang-orang Wera,terutama di Sangiang yang menyelamatkan Abdul Kahir ketika dikejar pasukan Salisi ke pulau Sangiang. Sama seperti Jara Wera, pasukan Jara Bura adalah pasukan khusus dengan dominasi kuda-kuda putih yang sigap melambangkan kesucian hati dan perjuangan membela Negara dan ajaran Islam. Pasukan Jara Sara’u adalah pasukan khsusus upacara. Sara’u adalah menari dengan hentakan kaki yang mengikuti irama Tambur. Semakin cepat tabuhan tambur, maka hentakan kaki Jara Sara’u semakin cepat. Jara Sara’u diambil dari kuda-kuda pilihan yang jinak dan terlatih dengan irama Tambur. Jara Sara’u, Jara Wera dan Jara Bura hingga saat ini biasa tampil pada saat parade atau upacara Hanta UA PUA.
Van Bram Morris mencatat, dalam Nota Penjelasan Perjanjian Politik antara Kerajaan Bima dan Gubernur Sulawesi, tertanggal 20 Desember 1886, tercatat bahwa Kuda Bima pernah dikirim ke Sulawesi dan Jawa. Jumlahnya mencapai 1.000 sampai 1.500 ekor per tahun. Saat itu, harga kuda tertulis 40-50 poundsterling, sedangkan harga lokal di Bima saat itu 15-25 poundsterling per ekor. Tercatat juga pernah ada seorang pangeran dari Madura yang memesan beberapa kuda kepada Sultan Abdul Kadim, Sultan Bima Ke-8 (abad ke-18). Ketika itu, Kesultanan Bima memiliki ranch, tempat pemeliharaan kuda di Desa Wera, Lambu, Kangga,Mpili, Sangeang Darat, Sangeang Api, dan Poja. Sedemikian akrabnya orang Bima dengan kuda, sampai kini pun banyak cerita soal kuda yang berkembang di masyarakat. Kuda Bima bahkan juga sudah dijadikan simbol pantang menyerah, mau hidup prihatin, dan berjuang demi mencapai tujuan. Kuda Bima juga jinak, tidak mau dikasari, dan akan tunduk jika diperlakukan secara lembut.
Sebelum Nuruddin Abubakar Ali Syah( Sultan Bima III 1682-1684)dinobatkan menjadi sultan, diperintahkan ayahnya Sultan Abdul Khair sirajuddin(Sultan Bima II) untuk mengirim kuda dalam rangka membantu perang Trunojoyo dan Sultan Ageng Tirtayasa di Banten. Sultan Nuruddin bersama 19 orang pasukannya ditawan Belanda dan dibawa ke Batavia. Tempat penahanan Nuruddin hingga sekarang dikenal sebagai salah satu nama kecamatan di Jakarta yaitu Kecamatan Tambora. (M.Hilir Ismail, 98 dan Dr.Noordduyn “ Makassar And The Islamization Of Bima” ).
Pada masa kerajaan dan kesultanan Bima, pengembangbiakan kuda baik untuk sarana transportasi maupun kebutuhan eksport dan perang, kerajaan dan kesultanan Bima menerapkan kebijakan pengembangbiakan dengan menyiapkan areal khusus dengan sebutan Ruhu. Ruhu adalah areal penggembalaan dan pengembiakan ternak, termasuk kuda. Ruhu-ruhu tersebut banyak terdapat di Wera, Sape, Lambu dan Donggo. Hingga sampai sekarang masih ada kepercayaan masyarakat terhadap seekor kuda Sangaji Mbojo yang bernama Manggila, di sekitar pulau Sangiang.
Sumber Bacaan :

1. Prof.Dr.Slamet Mulyono, Puncak kemegahan Majapahit,Sejarah Kerajaan Majapahit, PN Balai Pustaka Jakarta 1965 ;
2. Hilir Ismail, Peran Kesultanan Bima Dalam Perjalanan Sejarah Nusantara
3. Van Bram Morris, Kerajaan Bima 1886, Penerbit Lengge
4. Alan Malingi, Artikel : Kuda Dalam Perspektif Masyarakat Bima
5. Abdullah Tayib,BA, Sejarah Bima Dana Mbojo.

Ditulis : Alan Malingi

Tulisan Singkat Tentang LA LINO

Tulisan Singkat Tentang LA LINO
=====================
MUSHAB LA LINO sala satu kekayaan warisan leluhur Dana Mbojo yang luput dari pengetahuan public yaitu Kitab Mushaf Bima yang diberi nama LA LINO. La Lino yang berarti memenuhi, melimpah ruah, menyeluruh. 

Contoh penggunaan Kalimat La dan Lino.
La Dola ma Me'e "Lino" (Si Abdullah yang Hitam menyeluruh/dipenuhi kulit hitam)
Fare aka Tolo  Waura Owa Ka "Lino" (Padi disawah sudah dipenuhi air). Sedangkan kata awal "La" tertuju pada orang, Misalkan La Dola( Si Abdullah), La Duru (Si Abdurrahman) & La Luku (Si Lukman)

Kitab ini ditulis oleh Syekh Subhi atau biasa dipanggil dalam bahasa bimanya Subu, Subhi(bahasa arab) yang  artinya Subuh. Beliau  seorang Imam Masjid Kesultanan Bima sekaligus guru dari Sultan Alaudin yang memerintah pada 1731 -1748 M.

Subhi bin Ismail bin abdul Karim, beliau sejak mudah sudah menghafal Al-Quran.
Selanjutnya jejak syekh Subhi  dilanjutkan sala  satu putranya bernama Syaikh Abdulgani bin Subhi bin Ismail bin abdul Karim Al-Bimawi Al-Jawi atau yang kerap disebut Al-Bimawi aja, guru besar di Madrasah Haramayn Masjidil Haram di penghujung abad 19. Kakeknya Syekh Abdul karim, seorang mubaliq kelana dari Mekah kelahiran Bagdad. Abdul Karim sampai ke Indonesia, pertama kali menuju Banten, untuk mencari saudaranya dari Banten, Abdul Karim mendapat informasi bahwa saudaranya itu ada di Sumbawa. Pergilah beliau ke sana dan sampai di Dompu. Seraya berdagang tembakau, Abdul Karim menyiarkan Islam. Hal itu menarik perhatian Sultan Dompu, lalu beliau diambil menjadi menantu. Dari pernikahan dengan gadis istana itu, Abdul Karim mendapat anak laki-laki bernama Ismail. Ismail pun mengikuti jejak ayahnya menjadi mubaligh. Ismail kemudian mempunyai putra bernama Subhi/Subu.

Kitab tersebut dulunya tersimpan di kediaman keluarga Kesultunan Bima dan sekarang tersimpan di Museum Baitul Qur’an Taman Mini Indonesia Indah Jakarta, dan pada tahun 2012 mendapat penghargaan sebagai mushaf Al-Qur’an terbaik dan terindah yang diselenggarakan di Yogyakarta dan menarik sekian banyak pengunjung yang hadir menyaksikannya. La Lino juga termasuk salah satu mushaf tertua di Indonesia.
 
Kekayaan tak ternilai itu adalah sebuah Mushaf Alqur’an yang dijuluki La Lino.  Perlunya untuk difamiliarkan kembali dengan memperbanyak dan mempelajarinya sebagaimana yang telah dilakukan oleh para ulama dan sultan pada masa kesultanan. Ide penulisan Alquran ini sebagai upaya penyiaran Islam pada masa-masa awal masuknya Islam di Dana Mbojo. Sehingga ayat-ayat suci itu bisa disebarluaskan ke seluruh masyarakat. Hanya inilah Alquran yang ada di Dana Mbojo pada saat itu dan strategi penyebarluasan isi kitabullah dengan cara menghadirkan rakyat di Istana (Asi Mbojo) untuk sama-sama mendengarkan lantunan Ayat Suci Alquran beserta maknanya dari para ulama dan mubaliq setiap malam Jumat. Pada periode selanjutnya muncullah ide dari Sultan Alauddin dan Syekh Subhi, seorang Imam Masjid Kesultanan Bima sekaligus guru dari Sultan Alaudin yang memerintah pada 1731 -1748 M untuk meneruskan kegiatan tersebut.

Mushaf tulisan tangan dari Kerajaan Bima ada dua Mashaf, yaitu La Nontogama (Jembatan Penuntun Agama), saat ini dalam koleksi Museum Samparaja di Bima, dan La Lino (memenuhi, melimpah ruah , menyeluruh) Bahasa Arabnya: Al-Kaaffah. yang saat ini dalam koleksi Bayt Al-Qur’an & Museum Istiqlal, Jakarta. Kedua mushaf ini masih lengkap, menggunakan kertas Eropa.

#Belajar_Sejarah
#Ambil_Hikmah_Dari_Sejarah
#Melestarikan_Budaya
#Budaya_Yang_baik


SUMBER:

Bafadal, Fadhal AR dan Rosehan Anwar. 2005. Mushaf-mushaf Kuno di Indonesia. Jakarta: Puslitbang Lektur Keagamaan

Eksiklopedia Bima oleh Muslimin Hamzah

Masyarakat Dana Mbojo (Bima dan Dompu).

BISA BACA: 

http://cintagenerasibima.blogspot.co.id/2016/04/membangaun-generasi-ulama-bima-dompu.html

http://www.rul-sq.info/2015/05/mushaf-manuskrip-nusantara.html

https://tafsiralquran2.wordpress.com/2012/11/03/pengertian-mushaf/
https://alanmalingi.wordpress.com/2012/05/12/la-lino/

https://ompundaru.wordpress.com/2009/01/03/syekh-abdulgani-bima-al-bimawi/

http://kesultananbima.blogspot.co.id/2014/06/al-quran-tulisan-tangan-nontogama.html

http://www.bimasumbawa.com/2014/12/nontogama-dan-la-lino.html